Jumat, 12 Juni 2009

OBSESI SANG JENDERAL


Saya tadi malam entah kenapa merasa seorang bule datang mendekat dan duduk disamping saya. Mukanya tidak ada senyum dan matanya terlihat menyipit. Parasnya agak muram dan sedih seperti sedang banyak pikiran. Dia duduk dan termenung seraya memandang ke depan tanpa berkata-kata. Saya sadar bahwa orang ini adalah orang besar sehingga saya sungkan untuk bercakap-cakap dengannya. Dihadapan kami terbentang pantai laut Jawa yang luas tapi seperti kita ketahui sudah tidak indah lagi. Pantainya berlumpur dan dimana-mana banyak sampah yang mengambang. Pantainya rasanya sepi sekali dan saya tidak melihat seorangpun pada waktu itu. Namun demikian suara deburan ombak masih terdengar cukup indah tapi tidak ada suara apapun selain itu.Pada saat saya memperhatikan dia, tiba-tiba terdengar keluhan dari helaan nafas yang berat. Hal ini membuat saya merasa kasihan kepada orang tua ini dan tak sadar saya bertanya: "Kenapa pak? Bapak seperti sedang susah ya?" Bule tua itu tiba-tiba menoleh dan wajah sedihnya masih tetap nampak terbayang pada parasnya. Saya tanya lagi pada bule itu: "Apa sih yang Bapak risaukan?" Dan dia menjawab:"Saya sedih, nak...kenapa bangsa kita kok seperti ini." Saya jadi ingin tahu dan bertanya lagi: "Seperti ini bagaimana sih pak? Sekali lagi beliau menghela napas dan berkata:"Kalian sekarang lebih perduli pada politik tapi tidak perduli pada rakyat dan pembangunan negara. Berapa besar biaya yang kalian keluarkan buat kampanye? Padahal kalau uang yang kalian keluarkan untuk pemilu, kampanye legislatif, pilpres dan kampanye para capres digunakan untuk membangun irigasi, bendungan, jembatan, pelabuhan dan jalan raya mungkin BLT sudah tidak perlu. Coba lihat saya dulu, saya tidak punya uang tapi saya bisa bangun jalan raya 1000 km belum lagi jembatan. Sampai sekarang jalan raya yang saya bangun masih kalian gunakan!" Saya agak tergelitik juga untuk komentar:"Tapi kan sekarang ini jamannya sudah berubah pak?" Saya lihat pak tua itu agak tersenyum pahit dan sedih tapi beliau menyahut juga:"Betul nak, memang kalian sekarang ini sudah berubah...tapi seharusnya kalian tetap fokus pada kepentingan negara dan rakyat. Kalian sekarang punya banyak insinyur, alat-alat berat, kapal dan teknologi....seharusnya kalian bisa membangun negara ini lebih cepat dan tidak ketinggalan dengan negara lain........ Saya dulu cuma punya rakyat yang tidak sekolah, saya tidak punya alat-alat berat, tidak ada kereta, truk seperti yang kalian punya. Tapi karena saya punya visi bahwa saya harus memberikan sesuatu sebagai hasil karya saya pada tugas yang diberikan pada saya....maka dalam kondisi yang serba kurang saya paksakan supaya visi saya bisa terwujud."

“Hebat juga bule tua ini” pikir saya, lalu dengan santai sambil memandang laut Jawa yang agak pantainya agak coklat , saya memberi tanggapan: ” Pak, jaman sekarang kalau membangun harus tersedia anggaran. Pemerintah nggak punya uang untuk membangun pak.” Dia tampak heran mendengar jawaban saya. Sepertinya dia tidak percaya. Lalu dengan wajah serius dia menjawab: “Masa sih? Kalian mengadakan pemilu kok ada uang? Untuk membeli IT KPU kan mahal. Biaya cetak kertas untuk dicoblos kok ada? Lalu saya terangkan :” Pak itu ada anggarannya” Dia terlihat paham atas jawaban saya, terbukti dia mengangguk angguk. Tapi kemudian dia menjawab lagi: “Begitu ya? Jaman saya juga ada anggaran, nak. Tapi saya tidak dikasih anggaran, karena pemerintah waktu itu juga tidak punya uang. Nak, pembangunan itu penting. Coba lihat, …….” Sambil menarik nafas dia melanjutkan: “ kalian sudah membangun jembatan Suramadu, itu bagus. Tapi kenapa belum dibangun jembatan Pulau Jawa dan Sumatra? Kenapa yang dibangun ke Madura….dan bangunnya kok lama sekali ya? Kalau jembatan susah….bikin saja terowongan.” Saya jadi tertawa dalam hati. Tapi orang tua ini melanjutkan kembali: “Kalau kalian tidak punya uang, suruh saja orang menggali terowongan 10 meter sehari, Kalian punya alat-alat berat pasti tidak susah. Dalam 1000 hari terowongannya sudah tembus 10 kilometer.” Saya jadi tidak sabar mendengar celotehannya, dan saya potong:” Pak, anggarannya nggak ada, …tegas saya:” Bapak sih nggampangin persoalan….”Dia dengan wajah sedih dan bijaksana langsung memotong komentar saya:” Semua masalah bagi pemimpin pasti tidak ada yang gampang…tetapi harus bisa dipecahkan.” Pemimpin harus punya mimpi…mimpi itu yang sekarang kalian sebut visi, nak. Visi itu harus diwujudkan dengan segala upaya.” Saya jadi mengangguk angguk mendengar sergahannya yang serius. Tapi bule tua ini melanjutkan lagi:” Anak bilang negara kalian tidak punya uang,…tapi kenapa kalian punya banyak departemen dan ribuan pegawai negeri.” Eh, lompat lagi dia. Dan orang tua ini mulai Nampak emosi.: “Buat apa kalian punya banyak pegawai departemen yang hasil pekerjaannya nggak jelas. Gaji pegawai negeri kecil dan itu pasti nak….karena mereka juga tidak produktif. Gus Dur itu benar sekali, nak. Cuma Gus Dur kurang jeli dan kurang waktu. Harusnya waktu itu yang dibubarkan lebih banyak lagi.” Saya jadi geli, dan langsung bertanya :” Departemen mana lagi, pak? Orang tua ini mungkin sudah mulai merasa saya meremehkan dia. Tapi dengan sabar dia menjawab: “Kalian harus berani mengambil pilihan…….” Dia berhenti dan menarik nafas, lalu melanjutkan:” Departemen yang tidak perlu dan tidak produktif sebaiknya dibubarkan….pemimpin harus berani nak. Uang kalian harus digunakan untuk kegiatan dan pengeluaran produktif. Coba lihat, apakah perlu dengan teknologi dan pengetahuan seperti sekarang….pegawai negeri sampai puluhan ribu atau ratusan ribu? Lalu dia berdiri, nampaknya dia mulai menyadari pembicaraan sudah melantur jauh. Dia berjalan ke air dan pandangannya lurus kedepan, sambil berpesan: “Nak, sampaikan pesan saya pada pemimpin kalian :
“Indonesia harus membangun sarana dan prasarana. Sumatera, Kalimantan, Sulawasi, Papua, Nusa Tenggara banyak memiliki sumber daya alam. Bangun jalan raya, jembatan, pelabuhan, dan jalan kereta api. Sistem pendidikan harus dibenahi. Murid sekolah yang pinter harus dijamin mendapat pendidikan terbaik. Hukum harus ditegakkan dan dibenahi….eh satu lagi DPR harus dibubarkan.” Saya lihat bule tua itu terus berjalan diatas laut sehingga akhirnya hilang dari pandangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar