Minggu, 15 November 2009

MANUNGGALING KAWULA GUSTI : PERTEMUAN DENGAN SYEKH SITI JENAR

Seperti biasa kalau ke Solo saya senang makan di warung-warung kecil yang makanannya enak dan menurut saya suasananya nyaman sekali. Pada malam itu setelah makan nasi liwet di daerah Keprabon saya menyempatkan diri singgah di warung wedang ronde di sudut jalan daerah Keprabon. Malam itu mungkin jam sudah menunjukan pukul 23.30 namun di daerah itu masih banyak orang yang jalan di sekitar jalan Slamet Riyadi. Saya datang ke warung itu sendirian dan memilih tempat di paling sudut warung wedang ronde itu. Tempat saya duduk tidak ada orang lain kecuali di meja seberang hanya ada sepasang muda mudi yang sedang menikmati suasana malam dengan menikmati minuman khas kota Solo itu. Entah mengapa malam itu suasana pikiran saya kosong dan seperti ingin menikmati suasana kesendirian.

Tanpa saya sadari sewaktu saya menoleh kesebelah kanan ternyata duduk disebelah saya ada seorang laki-laki separuh baya dengan pakaian sorjan lengkap dengan blangkon kuno khas Jawa jaman dahulu. Lelaki itu duduk dengan kepala menunduk dan dari samping saya dapat melihat separuh wajahnya yang menunjukkan keteduhan dan kedamaian hatinya. Saat itu saya merasakan adanya suasana sepi dan keheningan malam kota Solo yang menurut saya sangat sepi sekali sehingga suara jangkrik pun dapat terdengar. Suara kendaraan pun sudah tidak lagi terdengar kecuali gemeretak bara tungku api pedagang wedang ronde. Sewaktu saya melihat meja seberang saya masih melihat kedua muda-mudi itu namun nampaknya mereka pun sedang laruh pada suasana kediaman malam itu. Tiba-tiba saya mendengar laki-laki di sebelah saya menyapa dengan logat jawa yang kental: "Ki sanak dari mana? Tampaknya ki sanak bukan orang sini ?" Mendengar sapaan yang halus itu hati saya mendorong untuk ingin bertegur sapa dengan orang berpakaian Jawa itu : "betul pak, saya dari Jakarta dan sedang ada keperluan di kota Solo ini. Apakah bapak orang Solo?" Lelaki itu kemudian menoleh dan menatap pada saya dengan matanya yang tajam, namun kemudian saya menyadari bahwa sorot mata lelaki itu memberikan suatu keteduhan dan menunjukan sorot seorang bijaksana yang telah mengenyam pahit getirnya kehidupan dunia. "Tidak ki sanak, saya dulu tinggal di daerah pantai Parang Teritis, tetapi itu hanya singkat sekali." Laki-lagi itu kemudian menghela nafas seperti terkenang pada sesuatu namun kemudian dia melanjutkan:" Saya belum pernah ke Jakarta, saya dengar sekarang kota itu sudah sangat berubah ya?" Laki-laki itu kemudian diam dan kembali menunduk sambil meletakkan kedua tangannya diatas meja. Saya kemudian menegur laki-laki itu: " Apakah bapak ingin wedang ronde? " Laki-laki itu tetap diam sehingga saya memutuskan untuk memesan wedang ronde segelas untuknya. Kemudian ia dengan suara lirih berbisik pada saya: " Dulu pada waktu saya hidup disini, minuman ini memang merupakan kegemaran saya." Saya segera menyahut : " Kalau boleh tahu bapak sekarang tinggal dimana? " Laki-laki itu tersenyum dan kemudian menjawab :" Ki sanak tidak perlu tahu sekarang, karena nanti juga tahu. Tempat kita tinggal sekarang hanyalah sebuah ilusi yang tidak langgeng dan tidak ada artinya dibandingkan dengan tempat kita tinggal nanti." Saya segera sadar bahwa laki-laki ini ingin membawa pembicaraan kepada pembicaraan yang lebih bermakna. "Maksud bapak apa?" saya menyambung perkataanya. "Ki sanak kita hidup hanya sementara, hidup kita harus dipenuhi dengan upaya pendekatan dan pencarian kepada Sang Pencipta." Tukasnya. Sambil menyeruput wedang ronde panas, saya menyambut pernyataannya :" Mengapa demikian pak?" Laki-laki itu menatap saya seolah-olah ingin meyakinkan apakah saya tulus ingin mendengarkannya. Tetapi kemudian laki-lagi itu berkata:" Tubuh lahiriah kita ini hanya bangkai yang tiada ada artinya. Gusti Allah SWT telah memberikan kita jiwa bagi tubuh kita namun manusia seringkali tidak mengetahui bahwa jiwanya perlu diberikan makanan yang baik agar jiwa kita sehat sehingga dapat menikmati kehidupan dialam yang akan datang. Kita sering merasa diri kita hebat, gagah padahal hal itu tidak benar. Manusia itu lemah dan tidak ada artinya karena pada dasarnya manusia itu disisi Yang Maha Kuasa tidak lain hanyalah debu yang tiada artinya. Selama manusia merasa dirinya itu hebat maka dia tidak akan dapat menemukan Sang Pencipta." Lalu saya merasa hati menjadi sangat tertarik dengan pemikirannya dan menyahut:" Apakah itu yang dimaksud dengan manunggaling kawula gusti, ya pak? Tiba-tiba laki-laki itu tersenyum dan pandangannya kembali seperti mengenang sesuatu, kemudian dia menyahut: "Manunggaling kawula gusti adalah suatu proses yang memerlukan waktu dan upaya dari manusia untuk mencari hakikat dirinya sendiri. Tetapi ki sanak benar sekali."


Saya jadi teringat pada Syekh Siti Jenar yang akhir hidupnya tragis harus mati di tangan Sunan Kalijago. Kemudian saya bertanya:" Apakah bapak pernah mendengar nama Syekh Siti Jenar?" Laki-laki itu tiba-tiba tersentak dan terdiam. Kemudian laki-laki itu seperti menerawang dan setelah lama berfikir dia berkata : " Ki Sanak, apa yang di alami orang itu adalah akibat perbuatan dan kesombongan dirinya sendiri. Saya tidak menyalahkan Sunan Gunung Jati ataupun Sunan Kalijago, apalagi Sultan karena pada dasarnya dia sendri telah melakukan kesalahan. Setiap manusia akan melalui tahapan pada tingkatan akhlaknya." Wah..saya mulai merasakan laki-laki itu mulai menerawangkan pikirannya sendiri. Tapi kemudian dia melanjutkan :" Manakala manusia masih pada tahapan nafsi lawamah dia kadang-kadang masih akan melakukan kesalahan dan kesombongan. Syekh Siti Jenar juga melakukan kesalahan dalam menghadapi Sunan Kalijaga. Penyatuan diri manusia pada Sang Khalik hanya dapat terjadi pada saat pikiran dan perbuatan telah konsisten pada penyerahan dirinya dan melupakan segenap hawa nafsu duniawi. Tanpa penyerahan diri yang mutlak maka manunggaling kawula Gusti tidak akan langgeng."

Saya tambah bingung pada perkataan laki-laki itu namun seperti membaca pikiran saya dia melanjutkan: "Manusia tidak cukup hanya berbuat baik untuk dapat menemukan Tuhannya, kerbau adalah makhluk Tuhan yang tidak pernah berbuat kesalahan dan selalu baik tapi kerbau tidak akan masuk surge ki Sanak. Untuk dapat menemukan Sang Pencipta, manusia harus melakukan kebaikan dan memberikan manfaat kepada alam, kepada semua makhluk dan kepada sesame manusia. " Lalu saya menyahut: " Apakah itu saja pak? Laki-laki itu menjawab :" Belum ki sanak. Untuk bisa menyatukan diri dengan sang Pencipta manusia harus mengenali sang Khalik secara benar dan percoyo secara hakiki. Tanpa itu ndak mungkin" Apalagi pikir saya dalam hati, tapi laki-laki itu sudah meneruskan: "Kita harus eling…eling……untuk mengingat dan mendapatkan gambaran mengenai kejuitaan dan keindahan yang sempurna dari sang Pencipta. Manusia harus mengenal kebaikan dan sifat-sifat Gusti Allah. Manusia harus terus meminta dan doa pada Gusti Allah supaya diberkahi untuk mendapatkan jalan untuk menyatukan diri " Dan kemudian dia diam dengan kepala tunduk dan melanjutkan dengan dengan suara berbisik: "Ki sanak, buat apa sholat 5 waktu, puasa, bayar zakat, pergi haji kalau sampeyan masih makan riba, berkata ghibat, main perempuan, korupsi, menyembah manusia, membenci sesama makhluk dan tidak menjalankan perintah sang Pencipta. Apakah sampeyan perlu mendapatkan pengakuan manusia bahwa sampeyan manusia alim padahal kelakuan sampeyan tidak berbeda dengan perbuatan khewan? Itu namanya kepalsuan ki sanak atau munafik namanya. Tanpa penyerahan diri dan upaya perbaikan akhlak yang kuat dan terus menerus secara istikomah, manusia akan hidup percuma dan akan gagal untuk melakukan penyatuan diri dengan sang Khaliknya."

Lamat-lamat azan subuh mulai terdengar dan makin lama makin diikuti dengan azan dari mushola-mushola disekitar warung wedang ronde itu. Tiba-tiba saya tersentak oleh suara gelas-gelas beradu warung ronde karena ternyata pemilik warung sudah berkemas untuk mengakhiri jualannya. Sewaktu saya menoleh kepada lelaki berpakaian jawa itu, ternyata dia sudah tidak ada disebelah saya. "Bu bapak yang duduk disebelah saya mana? Tanya saya pada si ibu pedagan wedang ronde. Ibu itu tampak heran dan mulai memandang saya dengan aneh : " Bapak lihat siapa, ya? Dari tadi bapak kan hanya sendiri saja." Saya baru tersadar bahwa malam itu saya telah bertemu dengan orang itu lagi. Dalam benak pikiran saya terpaku bahwa orang yang jumpai malam itu adalah Syekh Siti Jenar. (Los Angeles – 08.11.20009)